Pemerintah lagi gencar-gencarnya bahas skema Burden Sharing. Katanya sih, ini buat biayai program-program Pak Prabowo, khususnya yang butuh duit gede kayak makan siang gratis. Apa itu burden sharing? Gampangnya, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) akan gotong royong membiayai belanja negara lewat surat utang. Data terbaru menunjukkan, defisit APBN kita lagi melebar, mendekati 3 persen. "Waduh, ini bahasa kerennya patungan bayar utang ya? Jangan-jangan nanti kita juga disuruh nyicil," celetuk Pak Bambang, seorang pensiunan PNS, sambil menunjuk berita di koran.
APBN Defisit, Rakyat Disuruh "Gotong Royong" Utang?
Jadi, ceritanya, BI disuruh beli surat utang pemerintah. Ini kayak kita minjem duit ke tetangga, tapi tetangganya itu kita sendiri, cuma beda rekening. Lucunya, BI disuruh beli surat utang dengan suku bunga rendah, di bawah pasar. Kenapa? Biar pemerintah dapat duit murah. Ini skema win-win katanya. Tapi win buat siapa? Buat pemerintah yang dapat duit murah, atau buat rakyat yang nanti entah bagaimana ikut nanggung?
Defisit APBN yang melebar ini bukan masalah sepele lho. Kalau terlalu besar, bisa bikin negara makin banyak utang. Ini ibarat kita punya panci bocor, bukannya ditambal, malah diisi air terus-terusan. Ya lama-lama banjir, dong! "Yang jelas, rakyat kecil kayak saya ini cuma bisa pasrah. Mau program apapun, ujung-ujungnya kan kita juga yang bayar lewat pajak, BBM naik, sembako mahal," keluh Ibu Ani, pedagang sayur di pasar.
Jadi, Sampai Kapan Kita Main Petak Umpet Sama Utang Negara?
Skema burden sharing ini katanya berhasil ngebantu pemerintah selama pandemi. Tapi sekarang, apakah ini solusi jangka panjang atau cuma penunda masalah? Kalau defisit terus melebar dan kita terus-menerus pakai skema ini, apakah negara kita tidak akan jadi kayak gali lubang tutup lubang? Apakah ini jalan keluar dari masalah keuangan negara, atau cuma cara elegan untuk menggeser beban ke pundak generasi selanjutnya? Dan yang paling penting, sampai kapan kita harus terus-menerus dihadapkan pada bahasa-bahasa ekonomi yang rumit, padahal intinya cuma satu: duit negara lagi mepet?
